Menyelami Hikmah Isra Mi'raj dan Implementasinya dalam Kehidupan

"Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra: 1)

Perjalanan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang kemudian dilanjutkan dari Masjidil Aqsha hingga ke Sidratul Muntaha dalam waktu satu malam saja merupakan peristiwa bersejarah yang kini sering  kita kenal dan peringati sebagai Isra' Mi'raj. Peristiwa tersebut menjadi bukti kekerdilan akal manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Peristiwa tersebut menjadi bukti bahwa iman dapat melampaui dimensi-dimensi yang bahkan tak mampu dijangkau oleh pikiran. Bahkan, sahabat yang pertama kali menundukkan akalnya untuk mengimani peristiwa tersebut diberi gelar As-Siddiq.

Perjalanan Isra Mi'raj sungguh istimewa. Peristiwa ini ditempuh oleh manusia istimewa, seorang nabi dan rasul terakhir yang menyempurnakan risalah. Dalam perjalanan Isra', Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam singgah di dua tempat yang istimewa; Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Ini menujukkan bahwa kedua masjid tersebut mempunyai kedudukan khusus bagi umat Islam, kedua tempat ini akan berkaitan erat dengan ibadah istimewa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh umatnya dalam peristiwa Mi'raj (perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha), yaitu perintah menunaikan ibadah salat.

Jika ibadah lain diperintahkan Allah melalui perantara malaikat Jibril, maka salat adalah ibadah yang istimewa, sebab perintah salat secara langsung disampaikan oleh Allah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Sidratul Muntaha, tanpa perantara Malaikat Jibril. Salat memiliki berbagai keutamaan dibandingkan ibadah-ibadah lain. Sedemikian pentingnya ibadah ini, hingga ia menjadi amalan yang pertama kali dihisab di pengadilan Allah kelak. Salat adalah tali penghubung antara seorang hamba dengan Allah yang tidak boleh terputus sepanjang hayat. Salat adalah perisai yang melindungi pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Ibadah ini merupakan amalan paling afdal setelah dua kalimat syahadat.

Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu yang mengatakan :

???????? ??????? ??????? ?????? ???? ??????? ????????? : ????? ????????? ??? ????? ????? : ?????????? ???????????. ????? ?????? ????? ????? ????? : ????? ??????????????. ????? ?????? ????? ????? ????? : ?????????? ??? ??????? ???????.

Saya pernah bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam , “Apakah amalan yang paling afdhal (terbaik)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “ Salat pada waktunya.”

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata, “Lalu aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “ Berbakti kepada kedua orang tua. ”

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu berkata lagi, “Lalu aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “ Jihad di jalan Allâh (HR. Al-Bukhari no. 7534 dan Muslim no. 85)

Salat juga dapat menghapus dosa-dosa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan  mengibaratkan orang yang melaksanakan salat fardhu seperti orang yang mandi lima kali sehari di sebuah sungai yang airnya melimpah hingga tubuhnya bersih dari kotoran. Salat lima waktu dapat meluruhkan dosa-dosa, sebagaimana mandi lima kali sehari dapat meluruhkan kotoran-kotoran pada tubuh hingga bersih.

 

Dua masjid suci yang Nabi singgahi pada perjalanan Isra' kemudian menjadi arah kiblat umat Islam dalam pelaksanaan salat. Masjidil Aqsha menjadi kiblat pertama, lalu ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, arah kiblat pun berpindah ke Ka'bah di Masjidil Haram. Dengan berbagai keutamaan yang dimilikinya, maka selaiknya telah menjadi tanggung jawab umat Islam untuk menjaga kesucian dua masjid tersebut.

Namun yang menjadi ironi, hari ini kita menyaksikan bahwa Masjid Al Aqsha tengah dikelilingi pilu dan nestapa. Seruan azan yang agung beriringan dengan dentuman rudal dan mesiu. Mengundang tangis, jerit dan rintih di balik reruntuhan bangunan dan tumpukan jasad orang-orang tak berdosa. Pohon tin dan zaitun tumbuh subur disirami darah orang-orang yang gugur karena mempertahankan keimanan dan tanah mereka. Tanah para nabi itu telah menjadi wajah yang menampilkan kondisi sebagian umat Islam saat ini. Banyak jumlahnya, tapi tak bisa berbuat banyak saat kezaliman terhadap saudara mereka terpampang jelas di depan mata.

 

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)

Selain menjadi momentum diperintahkannya salat fardu, Isra Mi'raj juga mengajarkan kita  untuk senantiasa mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi pilihan oleh malaikat Jibril antara susu dan khamr, Nabi lebih memilih susu. Hal Ini sebagai isyarat bahwa Islam adalah agama yang suci (fitrah), sekaligus menjadi tamsil bahwa fitrah manusia adalah mencintai kebaikan.

Isra Mi'raj telah mengajarkan berbagai hikmah yang dapat kita petik dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di hari peringatan peristiwa Isra' Mi'raj tahun 2024 M/1445 H ini, segenap santri dan tenaga kependidikan Pesantren Terpadu Insan Cita Serang tak ingin ketinggalan untuk turut menggali hikmah-hikmah tersebut dan mengimplikasikannya dalam kehidupan, terutama dalam praktik beragama.

Dalam peringatan Isra Mi'raj kali ini, santri  akhwat mendapatkan asupan pengetahuan melalui kajian dan bedah buku Fikih Perempuan. Di mana peserta  mendapatkan materi seputar bab haid, nifas, istihadhah dan thaharah. Pemahaman akan thaharah tentu penting dimiliki oleh setiap muslimah, karena suci dari hadas dan najis merupakan syarat sahnya ibadah-ibadah tertentu, misalnya ibadah salat. Bab thaharah bagi muslimah lebih kompleks dibandingkan dengan laki-laki, sebab wanita mengalami kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya memerlukan cara-cara thaharah yang khusus pula, seperti pada saat setelah menstruasi atau nifas. Selain itu, peserta juga diajarkan tata cara membedakan haid dan istihadhah, hingga perhitungan periode dan siklus menstruasi yang menentukan qadha puasa Ramadan.

Di waktu yang sama, santri ikhwan mengikuti pelatihan imam dan khatib dari mudir Pesantren Terpadu Insan Cita Serang, Ust. Abdul Fatah, Lc. Dua keterampilan penting yang akan selalu dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Masjid, langgar dan mushala yang ada di sekeliling kita senantiasa membutuhkan imam dan khatib yang fasih dalam membaca Alquran dan mampu secara efektif menyampaikan pencerahan kepada ummat. Hal itu memerlukan keahlian khusus yang dipelajari melalui proses yang tidak sebentar. Imam dan khatib perlu memiliki wawasan yang luas mengenai ilmu agama, ilmu tajwid bahkan keterampilan berbicara. Semua itu bisa didapatkan dengan menekuni bidang-bidang ilmu tersebut.

Kajian dan pelatihan yang diselenggarakan dalam peringatan Isra' Mi'raj tersebut menjadi salah satu komitmen Insan Cita Serang dalam mewujudkan visinya, yaitu menjadi lembaga pendidikan Islam terdepan dalam mencetak insan Rabbani. Insan yang mempunyai hubungan erat dengan Allah, 'alim dalam agama-Nya dan giat dalam mengajarkannya. Insan yang menjaga fitrah kebaikannya dan memiliki kepedulian yang tinggi pada sekitarnya.

 Sebagaimana hikmah Isra' Mi'raj yang masih bisa kita implementasikan hingga saat ini, semoga hikmah thalabul 'ilmi di Pesantren Insan Cita Serang dapat terus diimplementasikan oleh para santri melalui ilmu, akhlak dan bakti mereka dalam menjalankan peran sebagai insan Rabbani di lingkungan masyarakat.